I.
PENDAHULUAN
Eksistensi
pendidikan Islam di Indonesia adalah suatu kenyataan yang sudah berlangsung
sangat panjang dan sudah memasyarakat. Pada masa penjajahan Belanda dan
penduduk Jepang, pendidikan diselenggarakan oleh masyarakat sendiri dengan
mendirikan pesantren, sekolah dan tempat latihan-latihan lain. Setelah merdeka,
pendidikan Islam dengan cirri khasnya madrasah dan pesantren mulai mendapatkan
perhatian dan pembinaan dari pemerintah Republik di Indonesia.
Pemerintahan pada
masa orde lama yang dimaksudkan kepada rentang waktu 1945 sampai dengan 1965
diberi tugas oleh UUD 1945 untuk mengusahakan agar terbentuknya suatu sistem
pendidikan dan pengajaran yang bersifat nasional. Oleh karena itu, pastilah
sejarah mencatat bagaimana pemerintah orde lama memberikan sumbangsih yang
signifikan terhadap perkembangan pendidikan Islam. Peran utama agama sebagai
landasan spiritual, moral dan etika dalam pembangunan nasional, agama juga
berpengaruh untuk membersihkan jiwa manusia dan kemakmuran rakyat, Agama
sebagai sistem nilai seharusnya dipahami dan diamalkan oleh setiap individu,
warga dan masyarakat hingga akhirnya dapat menjiwai kehidupan bangsa dan
negara.
Pada masa
Indonesia sudah merdeka pendidikan islam khususnya pada masa awal oorde baru
yang mana pendidikan islam terkesan dianaktirikan oleh pemerintah. Karena
menanggapi tentang adanya ungkapan “ Di nidonesia bukan hanya agama islam saja”
lantas pendidikan islam serasa di dikotomikan oleh pemerintah.
Dengan demikian
sudah ada gambaran mengenai pola kebijakan pemerintah dimasa orde lama dan orde
baru, maka selnjutnya penulis akan menyajikan segelumit tentang pola-pola
kebijakan pendidikan islam pada masa orde lama dan baru di Indonesia.
II.
RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas maka penulis akan menyajikan beberapa
uraian permasalahan yang sebagai berikut :
A.
Apa
yang dimaksud dengan kebijakan ?
B.
Kebijakan
- Kebijakan Orde Lama Dalam Pendidikan Islam ?
A.
Kebijakan
- Kebijakan Orde Baru Dalam Pendidikan Islam ?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian kebijakan.
Kata kebijakan dalam kamus besar
bahasa Indonesia kata Ke-bi-jak-an adalah
rangkaian konsep dan asas yg menjadi garis besar dan
dasar rencana dl pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak
(tt pemerintahan, organisasi, dsb); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau
maksud sbg garis pedoman untuk manajemen dl usaha untuk mencapai sasaran.[1] Maka dari definisi
kebijakan diatas sudah dapat dipahami bahwa kebijakan adalah suatu acuan dasar
dalam tindakan bangsa oleh seorang pemimpin yang telah mengeluarkan kebijakanya
dan telah disepakati bersama.
Banyak kalangan mempersoalkan dan membedakan pengertian
“kebijakan” dan “kebijaksanaan” dalam studi kebijakan publik di Indonesia.
Petanyaan yang sering diajukan adalah apakah kebijakan dan kebijaksanaan
mempunyai arti yang sama atau berbeda?. Ali Imron berpendapat bahwa kata
“kebijaksanaan” merupakan terjemahan dalam bahasa inggris “policy” yang berarti
mengurus masalah atau kepentingan umum, dan juga administrasi pemerintah.
Sedangkan kebijakan adalah terjemahan dari “wisdom”. Kata “policy” kemudian
memunculkan beberapa istilah yaitu politic, policy, dan polici. Politic berarti
seni dan ilmu pemerintahan (The art and science of government); policy berarti
hal-hal mengenai kebijaksanaan pemerintah, dan polici yang berkenaan dengan
pemerintahan. Sedangkan wisdom (Kebijakan) adalah suatu ketentuan dari pimpinan
yang berbeda dengan aturan yang ada, yang dikenakan kepada sesorang karena
adanya alasan yang dapat diterima untuk tidak memberlakukan aturan yang
berlaku. Dari pembedaan terminology ini
kemudian Imron mendefinisikan kebijaksanaan (policy) sebagai aturan-aturan yang
semestinya dan harus diikuti tanpa pandang bulu, mengikat kepada siapa pun
dengan kebijaksanaan tersebut. Sedangkan kebijakan (wisdom) adalah suatu
ketentuan dari pimpinan yang berbeda dengan aturan yang ada, yang dikenakan
kepada sesorang karena adanya alasan yang dapat diterima untuk tidak
memberlakukan aturan yang berlaku.[2]
B.
Kebijakan - Kebijakan Orde Lama Dalam Pendidikan Islam.
Pada tangaal 27 Desember 1945 Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (
BPKNP ) menyatakan bahwa
“madrasah
dan pesantern pada dasarnya adalah satu alat untuk mencerdaskan rakyat jelata
yang sudah berurat berakat dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, hendaklah
pula mendapat perhatian dan bantuan nyata dan bantuan material dari pemerintah”.[3]
Sementara itu kementrian pengajaran dan kebudayaan (PP dan K) yang pertama adalah KI. Hajar Dewantara
mengeluarkan Instruksi umum yang isinya memerintahkan kepada setiap[ kepala –
kepala Sekolah dan Guru – guru yaitu :
1.
Mengibarkan
sang merah putih tiap-tiap hari halaman sekolah.
2.
Melagukan
lagu kebangsaan Indonesia raya.
3.
Menghentikan
pengibaran bendera jepang dan menghapuskan nyanyian Kimogayo lagu kebangsaan
jepang.
4.
Menghapuskan
pelajaran bahasa jepang, serta segala ucapan yang berasal dari pemerintah bala
tentara jepang.
5.
Member
semangat kebnagsaan pada murid-nuridnya.
Kebijakan pendidikan di
ndonesia termasuk didalamnya kebijakan pendidikan islam mengalami psasang surut,
yang ditandai dengan peristiwa penting serta tonggak sejarah sebagai
pengingat.Selanjutnya tindakan pemerintah yang pertama diambil dalam pendidikan
islam islam di Indonesia adalah
menyesuaikan pendidikan dengan tuntutan dan aspirasi rakyat, sebagaimana
tercantum dalam UUD 1945 pasal 31 yang berbunyi :
a.
Tiuap
tiap warga Negara berahk mendapt pengajaran.
b.
Pemerintah
mengusahakan suatu system pengajaran nasional yang diatur dalam Undang-undang.
Pada bulan desember 1946
dikeluarkan peraturan bersama dua menteri, yaitu Menteri Agama dan Menteri
Pendidikan dan Pengajaran yang menetapkan bahwa pendidikan agama diberikan
mulai kelas IV SR (Sekolah Rakyat = Sekolah Dasar) sampai kelas VI. Pada masa itu
keadaan keamanan di Indonesia masih belum mantap sehingga SKB Dua Menteri belum
dapat berjalan dengan semestinya. Daerah-daerah di luar Jawa masih banyak yang
memberikan pendidikan agama mulai kelas I SR. Pemerintah membentuk Majelis
Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun 1947 yang dipimpin oleh Ki Hajar
Dewantara dari Departemen P dan K, serta Prof. Drs. Abdullah Sigit dari
Departemen Agama. Tugasnya ikut mengatur pelaksanaan dan menteri pengajaran
agama yang diberikan di sekolah umum.
Selanjutnya eksistensi
pendidikan agama sebagai komponen pendidikan nasional dituangkan dalam
Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran No. 4 Tahun 1950, yang sampai
sekarang masih berlaku, dimana dinyatakan bahwa belajar di sekolah-sekolah
agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi
kewajiban belajar.[4]
Langkah demi langkah pada
akhirnya pendidikan Islam semakin terintegrasikan secara total dalam pendidikan
nasional. Pentingnya pendidikan agama yang telah terintegralkan dengan
pendidikan nasional akhirnya mendapat kekuatan hukum dalam Rumusan Komisi
Pembaharuan Pendidikan Nasional yang berbunyi: “bahwa pendidikan nasional ialah
usaha dasar untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan mengusahakan perkembangan kehidupan
beragama, kehidupan yang berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, nilai
budaya, pengetahuan, ketrampilan, daya estetik, dan jasmaninya sehingga ia
dapat mengembangkan dirinya bersama-sama dengan sesama manusia membangun
masyarakatnya, seta membudayakan alam sekitar” (Hanun Asrohah. 1999: 178).
Dikukuhkan dalam GBHN berdasarkan TAP MPR No. II/1983. [5]
Di tengah-tengah berkobarnya
revolusi fisik, pemerintah RI tetap membina Pendidikan agama pada khususnya.
Pembinaan pendidikanagama itu secara formal institusional dipercayakan kepada
departemen agama dan departemen P & K. pendidikan agama islam secxara
teratur resmi mulai desember 1946. Dan pada bulan itu juga dikeluarkan peraturan
bersama dua menteri yaitu menteri agama dan menteri pendidikan &
pengajaran yang menetapkan bahwa
pendidikan agam diberikan mulai sejak kelas IV SR sampai dengan kelas VI.
Tetapi itu tidak berjalan sesuaio prosedur. Banyak sekolah-sekolah diluar jawa
yang sudah engajarkan pendidikan agama pada masa kelas I SR. maka kebuijakan
pertama itu dinyatakan gagal.
Maka pada tahun 1950 dimana
kedaulatan Indonesia telah pulih untuk seluruh Indonesia, maka dibentuknya
kepanitiaan yang diketuai oleh Prof. Mahmud Yunus dan dari departemen
agama Mr. Hadi dari departemen P &
K, yang hasil dari perumusan kebijakan itu adalah :[6]
1)
Pendidikan
agama yang diberikan mulai kelas IV SR ( Sekolah Dasar ).
2)
Di
daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat misalnya ( sumatera, Kalimantan dan
lainya) maka pendidikan agama diberikan mulai sejak kelas I SR dengan catatan
bahwa pengetahuan umumnya tidak boleh berkurang disbanding dengan sekolah-
sekolah yang lain yang pendidikan agamanya dinerikan sejak kelas IV SR.
3)
Di
Sekolah Lanjutan Pertama dan Tingkat Atas ( umum dan Kejuruan) diberikan
pendidikan agama sebanyak 2 jam seminggu.
4)
Pendidikan
agama diberikan kepada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan
mendapat izin dari orang tua/wali.
5)
Pengangkatan
guru agama, biaya pendidikan agama, dan materi pendidikan agama di tanggung
oleh departemen agama.
Demikianlah kebijakan –
kebijakan pada masa orde lama dan akan dilanjutkan pada pembahasan pola
kebijakan pendidikan islam pada msa orde baru yang sebagai berikut.
C.
Kebijakan - Kebijakan Orde Baru Dalam Pendidikan Islam.
Orde baru adalah masa
pemerintahan di Indonesia sejak 11 Maret 1966 hingga terjadinya peralihan
kepresidenan, dari presiden Soeharto ke presiden Habibi pada 21 Mei 1998.
Peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru membawa konsekuensi perubahan strategi
politik dan kebijakan pendidikan nasional. Pada dasarnya Orde Baru adalah suatu
korelasi total terhadap Orde Lama yang didominasi oleh PKI dan dianggap telah
menyelewengkan pancasila.
Masa
Orde Baru disebut juga sebagai Orde Konstitusional dan Orde Pembangunan. Yakni
bertujuan membangun manusia seutuhnya dan menyeimbangkan antara rohani dan
jasmani untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Pada tahun 1973-1978 dan
1983 dalam sidang MPR yang kemudian menyusun GBHN.[7]
Kebijakan pemerintah orde baru
mengenai pendidikan Islam dalam konteks madrasah di Indonesia bersifat positif
dan konstruktif, khususnya dalam dua dekade terakhir 1980- an sampai dengan
1990-an. Pada pemerintah, lembaga pendidikan di kembangkan dalam rangka
pemerataan kesempatan peningkatan dan peningkatan mutu pendidikan.
Pada awal – awal masa
pemerintahan orde baru, kebijakan tentang madrasah bersifat melanjutkan dan
meningkatkan kebijakan orde lama. Pada tahap ini madrasah belum di pandang
sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, tetapi baru bersifat lembaga
pendidikan bersifat otonom di bawah pengawasan menteri agama.
Menghadapi
kenyataan tersebut di atas, langkah pertama dalam melakukan pembaruan ini
adalah di keluarkannya kebijakan tahun 1967 sebagai respons terhadap TAP MPRS
No. XXVII tahun 1966 dengan melakukan formalisasi dan strukturisasi Madrasah.
Dalam dekade 1970-an madrasah
terus dikembangkan untuk memperkuat keberadaannya, namun di awal –awal tahun
1970 –an, justru kebijakan pemerintah terkesan berupaya untuk mengisolasi
madrasah dari bagian sistem pendidikan nasional. Hal ini terlihat dengan
langkah yang di tempuh pemerintah dengan langkah yang di tempuh pemerintah
dengan mengeluarkan suatu kebijakan berupa keputusan presiden nomor 34 tanggal
18 April tahun 1972 tentang tanggung jawab fungsional pendidikan dan latihan.
Isi keputusan ini mencakup tiga hal :
1.
Menteri
pendidikan dan kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan
pendidikan umum dan kebijakan
2.
Menteri
tenaga kerja bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan dan latihan keahlian
dan kejuruan tenaga kerja akan pegawai negeri
3.
Ketua
lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan
pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri.
Selanjutnya, kepres No 34 Tahun
1972 ini di pertegas oleh inpres No 15 tahun 1974 yang mengatur operasionalnya.
Dalam TAP MPRS Nomor XVII Tahun 1966 dijelaskan “agama merupakan salah satu
unsur mutlak dalam pencapaian tujuan nasional. Persoalan keagamaan dikelola
oleh Departemen Agama, sedangkan madrasah dalam TAP MPRS Nomor 2 Tahun 1960
adalah lembaga pendidikan otonom di bawah bawah pengawasan Menteri Agama”. Dari
ketentuan ini, Departemen Agama menyelenggarakan pendidikan madrasah tidak saja
bersifat keagamaan dan umum, tetapi juga bersifat kejuruan. Dengan keputusan
presiden No. 34 Tahun 1972 dan impres 1974, penyelenggraan pendidikan dan
kejuruan sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab MENDIKBUD.[8]
Sebagai esensi dari pembakuan kurikulum sekolah umum dan madrasah
ini memuat antara lain:
1.
kurikulum
sekolah umum dan madrasah terdiri dari program inti dan program pilihan.
2.
program
inti dalam rangka memenuhi tujuan pendidikan sekolah umum dan madrasah, dan
program inti sekolah umum dan madrasah secara kualitatif sama.
3.
program
khusus ( pilihan ) diadakan untuk memberikan bekal kemampuan siswa yang akan
melanjutkan ke perguruan tinggi bagi sekolah menengah atas/madrasah aliyah.
4.
pengaturan
pelaksanaan kurikulum sekolah umum dan madrasah mengenai system kredit
semester, bimbingan karier, ketuntasan belajar,dan system penilaian adalah
sama.
5.
hal
– hal yag berhubungan tenaga guru dan sarana pendidikan dalam rangka
keberhasilan pelaksanaan kurikilumakan diatur bersamaoleh kedua departemenyang
bersangkutan.[9]
Dengan demikian, kurikulum
1984 tersebut pada hakikatnya mengacu kepada SKB 3 menteri dan SKB 2 menteri,
baik dalam program, tujuan maupun bahan kajian dan pelajaranya.diantara rumusan
kurikulum 1984 memuat hal strategissebagai berikut:
1.
Program
kegiatan kurikulum madrasah ( MI, MTs dan MA ) tahun 1984 dilakukan melalui
kegiatan interen kurikuler, kokurikuler dan ekstra kurikuler baik dalam program
inti maupun program pilihan.
2.
Proses
belajar mengajar dilaksanakan dengan memperhatikan keserasian antara cara
seseorang belajar dan apa yang di pelajarinya.
3.
penilaian
dilakukan secara kesinambungan dan menyeluruh untuk peningkatan proses dan
hasil belajar, serta pengelolaan program.
IV.
SIMPULAN
A.
Kebijakan
adalah rangkaian konsep dan asas yg menjadi garis besar dan dasar
rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak ( pemerintahan,
organisasi, dsb ).
B.
Diantara kebijakan-kebijakan pemerintah pada masa orde lama adalah
sebagai berikut :
1.
Pendidikan
agama yang diberikan mulai kelas IV SR ( Sekolah Dasar ).
2.
Di daerah-daerah
yang masyarakat agamanya kuat misalnya ( sumatera, Kalimantan dan lainya) maka
pendidikan agama diberikan mulai sejak kelas I SR.
3.
Di
Sekolah Lanjutan Pertama dan Tingkat Atas ( umum dan Kejuruan) diberikan
pendidikan agama sebanyak 2 jam seminggu.
4.
Pendidikan
agama diberikan kepada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan
mendapat izin dari orang tua/wali.
5.
Pengangkatan
guru agama, biaya pendidikan agama, dan materi pendidikan agama di tanggung
oleh departemen agama.
C.
Pada
awal – awal masa pemerintahan orde baru pemerintah melakukan formalisasi dan strukturisasi Madrasah dan Dalam dekade
1970-an madrasah terus dikembangkan untuk memperkuat keberadaannya, namun di
awal –awal tahun 1970 –an, yang kebijakan pemerintah terkesan berupaya untuk
mengisolasi madrasah dari bagian sistem pendidikan nasional, Selanjutnya Dalam
TAP MPRS Nomor XVII Tahun 1966 Persoalan keagamaan dikelola sepenuhnya oleh
Departemen Agama, sedangkan madrasah adalah lembaga pendidikan otonom di bawah
pengawasan Menteri Agama.
Demikianlah
pembahasan mengenai kebijakan kebijakan pemerintah pada masa orde baru dan lama
yang dapat penulis sajikan. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan atau
pembahasan yang keliru kami k\mohon maklum dan maaf. Karena kami hanya manusia
biasa.
V.
DAFTAR PUSTAKA
Nizar, Samsul, sejarah pendidikan islam di Indonesia (
Jakarta: kencana. 1989. Cet. Ke.3 ).
http://www.armhando.com/2012/02/kebijakan-pemerintah-dalam-pendidikan.html.
http://www.imammachali.com/berita-138-kebijakan-pendidikan-islam-dari-masa-ke-masa-dari-kebijakan-diskriminatif-menuju-kebijakan-berkeadil.html.
[1] Samsul Nizar, sejarah
pendidikan islam, (Jakarta : kencana, 2009, cet, ke.3), hal, 345.
[2] http://www.imammachali.com/berita-138-kebijakan-pendidikan-islam-dari-masa-ke-masa-dari-kebijakan-diskriminatif-menuju-kebijakan-berkeadil.html,
diakses tanggal 25 mei 2012.
[3] Samsul Nizar, Op. Cit.,
hal, 345.
[4] http://www.armhando.com/2012/02/kebijakan-pemerintah-dalam-pendidikan.html,
diakses pada tanggal 25 mei 2012.
[5] http://www.armhando.com/2012/02/kebijakan-pemerintah-dalam-pendidikan.html,
diakses pada tanggal 25 mei 2012.
[6] Samsul Nizar, Op. Cit.,
hal, 345.
[7] http://www.armhando.com/2012/02/kebijakan-pemerintah-dalam-pendidikan.html,
diakses pada tanggal 25 mei 2012.
[8]http://www.armhando.com/2012/02/kebijakan-pemerintah-dalam-pendidikan.html,
diakses pada tanggal 25 mei 2012.
[9] Samsul Nizar, Op. Cit.,
hal, 345.
No comments:
Post a Comment